Ketika
manusia dilahirkan dari perut ibunya, tindakan pertama yang dilakukanya adalah
menangis. Ini adalah satu aktivitas yang sangat penting baik bagi bayi maupun
bagi keluarga yang sedang menerima kehadiran anggota baru keluarganya. Menangis
selanjutnya menjadi aktivitas rutin si anak jika ia membutuhkan sesuatu.
Manangis adalah satu-satunya cara bayi untuk berkomunikasi dengan orang-orang
yang berada disekitarnya. Ketika ia merasa tidak nyaman karena ompolnya, ia
akan menangis sejadi-jadimya agar si ibu mendatanginya dengan penuh cinta dan
membersihkan kotoran yang ada dalam popoknya.
Setelah
popok diganti dengan yang beersih ia akan diam dan tidur nyenyak. Ketika lapar
dan haus pun demikian. Ia akan melakukan itu (menangis) untuk mengatakan bahwa
"ibu, aku tidak merasa aman/nyaman". Yah, kira-kira itulah bahasa
terjemahanya.
Seiring
berjalanya waktu si bayi sudah bisa berdiri dan berkomunikasi. Namun apakah
potensi menangis sudah hilang? Tidak. Ia masih menyimpanya. Dan akan
menggunakanya ketika sensor ketidaknyamanan anak tersebut berkedip. Ketika
terjatuh, atau diniaya orang yang lebih besar, ia akan melakukan itu. Namun
pengendalianya sudah teratur. Ia tidak akan menangis sebagaimana ia dahulu
waktu bayi. Ia akan menangis jika memang sudah tak ada lagi jalan lain untuk
meluapkan kesedihan dan kejengkelanya dalam hal-hal tertentu.
Lebih dari itu, menangis akan menjadi sebuah
senjata yang luar biasa bagi kaum hawa dalam menaklukkan pasanganya. Namun ini
adalah bahasan lain tentang the power of women tears.
Manusia
dewasa hanya akan menangis ketika emosional terdalamnya tersentuh. Perubahan
perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh umur dan kedewasaanya, namun lebih
pada kemapuannya untuk menganalisa masalah dengan membedakan antara emosional
yang menuntut meneteskan air mata dengan yang tidak.
Namun
diantara tangisan yang paling bermakna adalah tangisan sebagai rekasi terhadap
kejadian yang menimpa orang lain disekitarnya. Disinilah, air mata menjadi
berharga. Karena air mata tidak dikeluarkan untuk dirinya, Bukan karena dirinya
terancam atau merasakan kepiluan emosional. Namun tangisan dan air mata ini
ditujukan untuk orang lain yang ada disekitarnya sebagai cara dia untuk
meluapkan rasa kasih pada kaum lemah dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan
penindasan yang sedang dilihatnya.
Ketika
melihat seseorang disiksa atau dizalimi, dikedalaman hati manusia akan terasa
pedih, hati terasa penuh, dada terasa sesak dan air mata menggenang di pelupuk
mata. Inilah tangisan yang menggugah hati, dan menimbulkan efek positif. Efek
positif yang dimaksud adalah kesadaran akan hakikat manusia yang senantiasa
membenci kejahatan dan membela yang lemah. Tanpa tangisan, manusia tak lebih
dari sekawanan binatang yang biasa-biasa saja ketika melihat kawannya diterkam
dan dimakan oleh predator lain.
Namun
tangisan terhadap Imam Husein bukan sekedar kasihan terhadap imam husein yang
sedang teraniaya. Namun tangisan terhadap Imam Husein dalah symbol perlawanan
terhadap segala macam bentu kezaliman dan pengkhianatan. Tangisan untuk Imam
Husein adalah bentuk Tawalli dan tabarri. Artinya bahwa mereka yang tidak
meneteskan air mata untuk Imam Husein, maka ia pasti tidak akan tergugah
hatinya ketika melihat penindasan dan kezaliman. Mengapa? Karena Imam Husein
adalah ukuran kebenaran. Imam Husein adalah symbol kebenaran dan keadilan. Jika
imam dilawan, maka sudah pasti lawanya adalah kejahatandan kezaliman. Karena
tidak mungkin kebenaran melawan kebenaran.
Apalagi
Imam sebagai kebenaran sedang dihancurkan, maka bagaimana mungkin manusia
berakal akan tinggal diam dan bersikap acuh melihat peristiwa agung ini. Nabi
Ayyub as menangis sampai buta matanya hanya karena ditinggal anaknya, padahal
ia tahu bahwa anaknya masih hidup. Namun adakah manusia yang mengaku umat nabi
saw kemudian acuh dengan penganiayaan yang dilakukan terhadap cucu nabinya?
Sudah pasti, manusia itu sudah menukar harga dirinya sebagai manusia dengan
sesuatu yang jauh lebih rendah dan hina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar